Kamis, 08 Maret 2012

Tantangan Citizen Journalism di Indonesia

Wacana masyarakat sebagai sumber berita menjadi trend jurnalistik di Indonesia sekitar tahun 2000. Pemberitaan tidak mutlak menjadi kewenangan jurnalis profesional saja namun masyarakat awam kini dapat menjadi bagian dari sumber berita jurnalisme media massa.
Citizen Journalism dipahami sebagai aktivitas warga yang tidak belum memiliki latar belakang jurnalisme kemudian melakukan kegiatan jurnalistik. Sifat pemberitaan dan laporan kejadian adalah secara spontan didokumentasikan serta didistribusikan oleh masyarakat kepada masyarakat luas baik melalui media cetak, media elektronik dan media-media informasi alternatif yang berkembang dunia maya[1].
Konstruksi jurnalistik saat ini tidaklah kaku serta berkembang memenuhi kebutuhan zaman yang menuntut untuk memperoleh akses informasi secara cepat, akurat, update dan berkualitas. Standart informasi yang demikian ini saat ini tidak terbatas pada karya jurnalis profesional semata namun juga mengikat pada jurnalis warga berdasarkan kode etik jurnalistik.
Lahirnya Citizen Journalism merupakan salah satu perubahan model jurnalistik karena terpengaruh perkembangan teknologi informasi. Informasi yang dibutuhkan bersifat simultan dan real time. Tantangan saat ini adalah persaingan dalam kecepatan distribusi informasi[2].
Salah satu pelopor Citizen Journalism di Indonesia adalah stasiun radio Elshinta era tahun 2000, hingga saat ini radio Elshinta memiliki 100.000 reporter warga[3]. Pengenalan Citizen Journalism mengemuka setelah pemberitaan Cut Putri tentang bencana alam Tsunami Aceh tahun 2004 yang secara spontanitas melaporkan seluruh kejadian bencana kepada masyarakat luas[4]. Disusul oleh media lain seperti MetroTV, SCTV, ANTV dan Kompas melalui Kompasiana yang mengembangkan citizen journalism sebagai sumber pendukung pemberitaan utama.
Laporan kejadian yang dipublish oleh masyarakat lebih aktual namun tidak memuat prinsip-prinsip jurnalistik namun dapat menjadi sumber data bagi jurnalis profesional untuk ditindak lanjuti oleh jurnalis yang tidak berada saat kejadian. Beberapa pemberitaan oleh warga sering kali membantu dan berarti bagi informasi yang paling terupdate dan butuh penanganganan serius seperti kasus Tsunami Aceh, kecelakaan pesawat terbang di Sumatera dan kejadian-kejadian spontan lainnya. Pertanyaan yang sering muncul adalah dari aspek bisnis, keberadaan media online dan jurnalis warga apakah akan mengancam keberadaan media massa yang masih exist hingga saat ini?
Citizen Journalism merupakan bagian dari jurnalisme partisipatoris, dimana produsen dan konsumen berita sering tidak mudah teridentifikasi karena setiap orang dapat memerankan keduanya. Citizen Journalism mengutamakan interaksi dan interkoneksitas. Citizen Journalism menjadi gebrakan industri informasi dan komunikasi. Citizen Journalism mengkontruksi ulang sistem media tradisional, memperkaya tatanan produksi dan distribusi media informasi.
Di Indonesia, Citizen Journalism bergelut pada kode etik jurnalistik, kaidah perlindungan hukum melalui UU Pers, akurasi pemberitaan, kredibilitas jurnalis dan ketajaman analisis kasus. Citizen Journalism dianggap kurang memahami kode etik jurnalistik. Perlindungan dan Kode Etik profesi Jurnalistik Profesional diakui UU Pers No.40 tahun 1999 pasal 7 tidak menyinggung keberadaan Jurnalisme Warga sekaligus pengakuan sisi profesionalismenya. Pandangan beberapa jurnalis profesional, Citizen Journalism kurang memahami objektivitas, pemberitaan yang adil dan seimbang, menjunjung tinggi kebenaran berita, cross check informasi di lapangan sering terlewatkan karena keterbatasan akses jaringan informan potensial serta rawan terhadap unsur plagiatisme. Kendala utama Citizen Journalism dianggap sebagai sumber berita yang profesional karena kemampuan menulis berita, eksplorasi kasus, merangkum permasalahan, pengambilan kesimpulan analisis kejadian.secara lengkap dan akurat masih rendah, munculnya kurang percaya diri serta kurang memanfaatkan waktu untuk mendalami kebiasaan menulis berita.
Beberapa media mengganggap perkembangan Citizen Journalism hanya berlaku di dunia maya dalam bentuk blog ataupun media jurnalistik non profesional lainnya. Contohnya Program berita Liputan 6 SCTV tidak memberikan ruang bagi laporan masyarakat sebagai sumber pemberitaan. Sumber pemberitaan mutlak dari jurnalis profesional karena dianggap memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik, objektif, dapat dipertanggungjawabkan dan layak dipublikasikan ke masyarakat luas.
Beberapa media menyikapi kapasitas Citizen Journalism dengan beberapa ketentuan agar pemberitaan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. Citizen Journalism dapat dipublikasikan dengan kriteria sebatas pelaporan kejadian mencakup 5 W + 1 H dan bukan hasil pernyataan pers atau kajian investigasi jurnalis. Identitas Citizen Journalism harus jelas, Citizen Journalism juga terbebas dari tuntutan hukum atas laporan yang disampaikan.
Citizen Journalism masih terbatas pada media massa online, internet, dalam bentuk publikasi foto, komentar atau kutipan dari publik. Pengakuan Citizen Journalism sebagai sumber informasi alternatif yang akurat mengalami proses yang cukup berat, pengakuan media mutlak diperlukan Faktor Kredibilitas Media harus dipandang dari sudut kualitas dan akurasi berita tidak sebatas pada sumber berita yaitu Jurnalis Warga ataukan Jurnalis Profesional. Peluang perkembangan Citizen Journalism melalui penyediaan infrastruktur internet yang murah, cepat dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat awam serta membudayanya kebiasaan menulis dan melakukan reportase pemberitaan.
Harapanya, perkembangan teknologi dan intelektualitas masyarakat menuntut pengakuan Citizen Journalism sebagai alternatif sumber berita jurnalistik. Peran media mengawal objektivitas berita melalui editor sebagai gatekeeper kualitas berita sebagai karya jurnalistik yang objektif, akurat dan berkualitas.


Daftar Pustaka

Gilmor, Dan. 2005, Winter. Where Citizens and Journalists Intersect. Nieman Report, Vol59. No. 4
Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar.  Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kurniawan, Moch. Nunung, 2007, Jurnalisme Warga Di Indonesia, Prospek Dan Tantangannya, Makara : Majalah Sosial Humaniora, Vol. 11, No. 2, Desember 2007, Jakarta : The Jakarta Post

Internet dan Undang-Undang
http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-02/msg00206.html artikel “Cut Puteri, Wanita Muda Perekam Tragedi Tsunami Aceh” oleh Ekky Imanjaya,
Undang Undang Republik Indonesia No 40 Tahun 1999 tentang Pers


[2] Davison dalam Ishwara, 2005: 48-49, Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar.  Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
[3] Kurniawan ,Moch. Nunung, 2007, Jurnalisme Warga Di Indonesia, Prospek Dan Tantangannya, Makara, Sosial Humaniora, Vol. 11, No. 2, Desember 2007, The Jakarta Post, Hal 71-78
[4] Ekky Imanjaya, “Cut Puteri, Wanita Muda Perekam Tragedi Tsunami Aceh” dalam http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-02/msg00206.html

TRC Nusantara Kementerian Sosial RI

Kompleksitas perkembangan masalah sosial dan bencana alam di Indonesia serta tingginya isu-isu ancaman disintegrasi bangsa, menggugah Kementerian Sosial RI untuk semakin intropeksi diri, bangkit serta memiliki jiwa baru sinergis bersama komponen lainnya membangun Indonesia yang berada dalam batas ancaman keterpurukan. Tanggung jawab Kementerian Sosial saat ini tidak sebatas penanganan kemiskinan dan permasalahan sosial semata namun diharapkan memiliki kepekaan dan tanggap dengan fenomena disintegrasi bangsa yang menggeliat saat ini.
Tantangan utama pelayanan sosial adalah munculnya beragam bencana yang secara langsung dan tidak langsung menciptakan potensi-potensi munculnya masalah sosial yang berkepanjangan. Masalah politik, ekonomi, budaya juga sering menyebabkan pertumbuhan bahaya laten masalah sosial dalam masyarakat. Separatisme ataupun upaya disintegrasi bangsa bukanlah semata-mata tangggung jawab Kepolisian dan TNI, namun titik berat pokok permasalahannya adalah bagaimana pemerintah mampu mencegah proses disintegrasi tersebut sekaligus secara adil memberikan perhatian kepada masyarakat yang rentan dengan masalah sosial seperti masyarakat perbatasan, masyarakat adat dan masyarakat golongan minoritas. Kementerian Sosial juga memiliki tanggungjawab moral terhadap proses integrasi bangsa yang diakibatkan oleh kesejangan masalah sosial yang muncul di masyarakat.
Dilihat dari faktor geografis, Indonesia memiliki potensi kerawanan bencana alam yang cukup tinggi. Sebutan Indonesia sebagai Supermarket of Hazard mungkin layak disandang Indonesia karena hampir di seluruh titik wilayah di Indonesia memiliki kerentanan bencana alam meliputi banjir, abrasi, kebakaran hutan, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, kebakaran pemukiman hingga ancaman bencana tsunami. Tidak sekedar bencana alam namun dampak negatif yang timbulkan akibat bencana-bencana alam tersebut berupa peluang lahirnya bencana sosial juga semakin besar. Gejala bencana sosial sering kali tidak mudah terdeteksi dan tidak disadari. Kriminalitas, kekerasan, perubahan sistem dan norma sosial masyarakat, kuatnya local wisdom masyarakat dengan paradigma tertentu, apatisme masyarakat kepada pemerintah pada saatnya mampu menciptakan bibit-bibit bencana sosial yang akan menjadi bom waktu di masa yang akan datang.
Kemajuan kinerja Kementerian Sosial saat ini menjadi sorotan masyarakat, DPR dan media massa. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi mengakibatkan masalah sosial berkembang tidak sebanding dengan jumlah dan pemberian layanan kesejahteraan sosial. Semakin tinggi jumlah penduduk semakin kompleks pula tingkat kerawanan bencana alam dan sosial. Bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kebakaran pemukiman, pemanasan global, dsb merupakan jenis bencana alam yang terjadi karena campur tangan manusia. Masyarakat disadar atau tidak memberikan kontribusi terhadap munculnya bencana-bencana tersebut. Menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengelola seluruh aspek, memberikan peraturan protektif demi lingkungan keberlanjutan serta penanganan jika terjadi kerusakan ataupun bencana yang mengancam warga negaranya. Keterbatasan jumlah ketersediaan sumber daya penghidupan dapat menjadi sumber potensi bencana sosial yang pada titik tertentu akan mengancam keharmonisan kehidupan masyarakat yang sudah terbina saat ini.
Tingginya resiko bencana alam membuat beberapa Institusi pemerintah berinisiatif menyikapi dengan pembuatan unit tanggap bencana melalui Tim Reaksi Cepat seperti BNPB, Pemkot dan Dinas Kesehatan di beberapa Kab/Kota. Hal ini menjadi titik tolak bangkitnya citra Kementerian Sosial untuk menunjukkan jati diri dan profesionalitasnya di mata masyarakat yang sering apatis dengan berbagai program yang sedang digalakkan pemerintah untuk lebih tanggap dengan situasi kedaruratan bencana. Tidak dipungkiri, penilaian masyarakat terhadap lembaga pemerintah berupa opini publik dan pencitraan negatif image pejabat publik. Pemerintah identik dengan pemborosan keuangan negara, pemerintah dianggap sering menciptakan program-program yang menghabiskan anggaran negara, tidak memberi manfaat langsung kepada masyarakat luas serta menciptakan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin.
Penerapan prinsip Good Governance dalam penanganan bencana alam saat ini idealnya mengarah kepada kerjasama jejaring sinergis antar 3 komponen pembangunan masyarakat yaitu Pemerintah, Dunia Usaha dan Masyarakat. Hubungan antar komponen tersebut tidak sekedar ’circle’ namun didalamnya terdapat ’chemistry’ dalam menciptakan Pembangunan Masyarakat (Community Developtment). Pemerintah memberikan output berupa Kebijakan, Dunia Usaha dapat memberi kontribusi melalui program CRS (Corporat Sosial Responsibility) dan Masyarakat berperan melalui Orsos (Community Developtment).
Pemetaan tersebut diupayakan dapat mengetahui porsi dan kontribusi masing-masing jejaring dalam mewujudkan tujuan bersama. Sedangkan dalam struktural birokrasi masih ditemukan berbagai permasalahan mendasar. Oleh karena itu perlu adanya alur yang mempermudah penyelenggaraan kesejahteraan sosial melalui fungsi masing-masing segmen. Beberapa stakeholder tersebut bersinergi, menemukan strategi yang efektif dan mampu mengatasi permasalahan sesuai dengan kapasitasnya. Arogansi kelembagaan sering menjadi masalah baru dalam kerjasama lintas instansi oleh karena itu potensi konflik yang mungkin terjadi harus diantisipasi secepat mungkin.
No
Elemen Penanganan Bencana
Fungsi
1
Pemerintah Pusat (Kementerian Sosial RI)
Pembuatan Kebijakan
à ”Model”
2
Pemerintah Propinsi (Dinas Sosial Provinsi)
Pengendali
3
Pemerintah Kab/Kota (Dinas Sosial Kab/Kota)
Pelaksana
4
Organisasi Sosial
Penyelenggara
5
Masyarakat
Sasaran
Tabel. Pembagian Peran Stakeholders Penanganan Bencana

Organisasi yang berkualitas pastilah didukung oleh SDM yang handal, tidak terbatas pada tingkat pendidikan dan jabatan namun lebih karena kemauan, niat dan semangat untuk membangun pelayanan masyarakat secara total. Modal utamanya adalah niat untuk melihat mendengar dan bertindak terhadap realitas yang dihadapi. Berpikir cepat, kritis dan efektif selalu dibutuhkan dan hal tersebut dapat dilatih melalui kedisiplinan, mental bekerjasama dan sinergi antar bidang yang terkait.
Kementerian Sosial saat ini sudah memiliki Tim Reaksi Cepat Bidang Rehabilitasi Sosial dan Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial yang telah berjalan cukup baik. Berbagai kasus permasalahan sosial telah ditangani namun muncul wacana baru penguatan kapasitas dan kelembagaan Tim Reaksi Cepat tingkat Kementerian Sosial dengan melibatkan seluruh instrument di lingkungan Kementerian Sosial RI. Harapannya adalah semakin kuatnya jaringan, kualitas dan kelembagaan TRC di masa yang akan datang.
Pembangunan kesejahteraan sosial kepada penyandang masalah sosial melalui TRC diharapkan mampu memberikan solusi penyelesaian masalah secara cepat, tepat, akurat serta mendapat dukungan penuh dari Kementerian Sosial.  Langkah strategis kementerian sosial RI untuk lebih dekat dengan pokok permasalahan melalui pengorganisasian TRC Nusantara. Dukungan UKE II lingkup Kementerian Sosial mutlak diperlukan untuk penguatan secara kelembagaaan TRC. Setiap unsur yang terlibat diharapkan memiliki kontribusi sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing unit dan bekerja dalam satu kesatuan bersama dalam bendera Kementerian Sosial RI
Diterbitkannya Peraturan Menteri Sosial RI No 56/HUK/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Tim Reaksi Cepat Kemensos RI tertanggal 27 April 2011, Menteri Sosial sebagai Penanggung jawab TRC dikoordinasikan Oleh Seketaris Jend Drs. Toto Utomo  sebagai Ketua TRC Kemensos dengan Andi Hanindito sebagai Pelaksana Kegiatan Harian TRC menegaskan pentingnya pembentukan TRC Kementerian Sosial. Landasan utama pembentukan TRC adalah MoU antara Presiden RI dan Menteri Sosial dalam percepatan kinerja kabinet. Pembentukan dan pemantapan tim TRC melibatkan seluruh unit kerja di Kemensos RI yaitu Direktorat Rehsos, Linjamsos, Dayasos Gulkin, Setjend, Irjen dan Badiklit dengan optimalisasi peran seluruh elemen teknis dan fungsional kementerian sosial meliputi TKSK, Tagana, Tikar, Pelopor, Sakti Peksos, TKSM, Orsos, PSM dan Tenaga Kesos Lainnya. Pelibatan seluruh komponen Kementerian Sosial diharapkan menciptakan rumusan kebijakan, rekomendasi dan hasil-hasil yang lebih komprehensif sesuai sudut pandang analisis masalah masing-masing unit sesuai dengan tupoksinya.
TRC Nusantara merupakan amanat moril Kemensos RI kepada rakyat dalam mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan kesetiakawanan sosial melalui tindakan konkrit dalam menyikapi masalah bencana alam dan sosial yang terjadi di Indonesia. Langkah awal aktualisasi TRC Kementerian Sosial melalui beberapa rangkaian kegiatan.
Kegiatan Pemantapan TRC dilakukan di 3 wilayah secara serentak Jakarta, Batam dan Makassar pada tanggal 27 November sampai 1 Desember 2011 dapat dikembangkan menjadi menjadi simpul yang kuat dan terjalinnya sinergisitas di seluruh elemen TRC Kementerian Sosial RI. Penguatan konsep-konsep TRC diaktualisasikan dalam field practice melalui kunjungan Rapid Assesment ke 6 Lokasi Bencana Alam dan Bencana Sosial di Wasior, Bromo, Mentawai, Gunung Merapi Yogyakarta, Sambas, Atambua pada bulan Desember 2011.
Materi Out Class Lanjutan dengan kunjungan ke 20 daerah kabupaten tertinggal. Tahapan selanjutnya adalah Penguatan Kapasitas TRC tahun 2012 melalui kegiatan pemantapan teknis. Harapannya melalui kaderisasi yang profesional, anggota TRC mampu menguasai konsep dan memiliki pengalaman melakukan observasi, advokasi, pendampingan, rujukan dan perumusan rekomendasi sebagai problem solving secara cepat, tepat dan akurat berbagai isu aktual permasalahan kebencanaan alam dan kebencanaan sosial di Indonesia.
Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan Bencana Tahun 2010-2014 menginstruksikan Kementerian Sosial sebagai instansi utama pada shelter dan logistic penanganan bencana. Hal ini merupakan mandat masyarakat terhadap Kemensos yang memiliki tanggung jawab moril terhadap penanganan bencana yang profesional, berkualitas dan berkelanjutan. Paradigma penanganan bencana alam melalui pemberian bantuan (charity), hit and run,  ataupun orientasi pada masa kritis semata (temporer) haruslah diubah dengan pelayanan terpadu, berkelanjutan (subtainable), mengedepankan pelayanan pemberdayaan (services empowerment), mengoptimalkan fungsi pendampingan dan tuntas untuk menanggulangi potensi masalah sosial yang akan muncul lagi. Penanganan dan pelayanan Kemensos diorientasikan kepada pemberdayaan masyarakat.
Pemberian Bantuan haruslah selektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pelayanan yang baik tidak menciptakan ketergantungan masyarakat kepada bantuan pemerintah namun masyarakat dengan kemampuan dan potensi-potensinya dapat bangkit dan mengembangkan dirinya lepas dari keterpurukan atas bencana alam dan bencana sosial Sesuai Peraturan Menteri Sosial,  TRC Kemensos menangani kedaruratan untuk seluruh permasalahan kesejahteraan sosial yang ditangani oleh Kementerian Sosial. Belum tertanganinya berbagai peristiwa, kejadian khusus yang terkait dengan situasi darurat dan krisis sosial yang ditengarai dapat memunculkan masalah sosial lanjutan perlu  dideteksi dini sehingga tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat di kemudian hari.
Permasalahan utama penanganan masalah kritis/kedaruratan di negeri ini adalah panjangnya alur birokrasi dan banyak sekat-sekat antara pemerintah pusat dengan daerah ataupun antar instansi sehingga penanganan kasus tidak optimal dan sering memunculkan masalah baru.  Kesenjangan lingkup struktural hampir terjadi dalam birokrasi pusat dengan daerah. Peran TRC diharapkan mampu mempercepat dan mempermudah pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan solutif terutama dalam menembus batas struktural birokrasi mengingat masalah sosial kemasyarakatan yang berkembang dinamis dan bergeraak sangat cepat.
Alur penanganan tindakan kedaruratan akan melibatkan seluruh aspek dan komponen institusi sosial tingkat nasional, daerah dan masyarakat. Perlunya kerjasama dan koordinasi mutlak dilakukan untuk menghasilkan profesionalitas penanganan tindakan darurat. Antar Institusi dan komponen tidak perlu melaksanakan Kerja Penanganan Kedaruratan secara sendiri-sendiri namun melalui pemberdayaan masyarakat /Orsos yang lebih dekat dengan pokok permasalahan. Peran Pemerintah dan dunia usaha secara riil dapat berupa membuka seluas-luasnya akses, jaringan serta sumber daya yang dimiliki dan diserahkan kepada lembaga/institusi yang lebih berkompeten dan dekat dengan pokok permasalahan. Peran pemerintah dalam hal ini kementerian Sosial lebih diarahkan kepada kemampuan dapat menggerakkan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial pada situasi tertentu dan masalah sosial untuk penanganan masalah-masalah pembangunan masyarakat yang bersifat khusus dalam jangka waktu terbatas.
Tim Reaksi Cepat adalah tim yang dibentuk secara khusus dan resmi dibentuk, diorganisasi dan dilatih untuk penanganan masalah khusus serta ditugaskan dalam jangka waktu terbatas guna pengkajian kebutuhan segera dalam rangka membantu pengambilan keputusan dalam situasi krisis. Kelengkapan dan fungsi keorganisasian TRC Kementerian Sosial termuat dalam
Kontruksi TRC Kementerian Sosial yang meliputi bidang teknis dan bidang penunjang. Bidang Teknis meliputi pelaksana TRC Perlindungan dan Jaminan Sosial, TRC Rehabilitasi Sosial, TRC Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan sedangkan Bidang Penunjang meliputi Urusan Umum (General Affairs), Urusan Pengawasan (Law and Enforment) dan Urusan Pengembangan (Research and Developt)
Untuk menghindari overlaping dengan tugas-tugas yang bersifat reguler Unit-unit Kementerian Sosial maka perlu pembatasan lingkup kerja TRC Kementerian Sosial mencakup hal-hal yang bersifat
  1. Kerawanan adalah sesuatu yang dapat dilihat dan diamati dapat menjadi sumber permasalahan sosial di masyarakat. Kerawanan adalah peristiwa yang luar biasa yang memiliki potensi untuk mengancam kehidupan manusia, baik dirinya, harta benda, kehidupannya, maupun lingkungannya. Contoh : Tanah longsor, tsunami, banjir, gempa bumi, gunung meletus, kebakaran, dan lain-lain
  2. Kerentanan adalah sesuatu yang dapat dihitung. Kerentanan adalah sebuah kondisi yang mengurangi kemampuan manusia untuk menyiapkan diri, atau menghadapi kerawanan ataupun bencana.
  3. Resiko adalah sesuatu yang dapat ditindaklanjuti. Kemungkinan akan munculnya kehilangan, sebagai akibat dari kerawanan dan kerentanan yang buruk
TRC Kementerian Sosial berkaitan dengan Penanganan Bencana Alam. Manajemen Penanggulangan Bencana merupakan keseluruhan aspek dari mulai perencanaan hingga tanggap darurat dalam bencana. Manajemen juga yang berhubungan dengan resiko dan dampak bencana, serta aktifitas yang dilakukan sebelum, saat, dan sesudah bencana. Siklus Manajemen Bencana dapat dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu pencegahan/mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Fungsi utama Kementerian Sosial lebih dioptimalkan kepada Rehabilitasi pasca Bencana yaitu tindakan yang dilakukan setelah bencana, berupa penyediaan pelayanan dasar untuk memantau fungsi, memperbaiki kerusakan fisik, dan fasilitas masyarakat, untuk mengembalikan kegiatan dan mendukung psikologis dan keberadaan sosial masyarakat. Rehabilitasi Proses yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi sosial seperti semula
Langkah Kerja TRC Kementerian Sosial dalam situasi kedaruratan diupayakan mampu memotret kondisi faktual, prediksi serta antisipasi terhadap keberlanjutan dampak bencana meliputi beberapa tahap. Tahap prakondisi sebelum turun ke lapangan tim harus mampu membuat road map pemetaan masalah yang akan ditangani sehingga pada saat di lapangan tim memiliki bekal informasi tentang situasional wilayah yang akan ditangani. Tahap di lapangan, observasi merupakan aspek terpenting dalam melakukan rapid assesment. Rapid Assesment mencakup analisa situasi, kebutuhan dan akses di lapangan. Intervensi Kementerian Sosial diperoleh dari hasil analisis seluruh data dan informasi lapangan yang merujuk ke rekomendasi dalam bentuk Rencana Aksi TRC. Rencana Aksi inilah yang menjadi rujukan kepada pihak-pihak terkait khususnya kementerian sosial untuk mengatasi kedaruratan yang penting dan menjadi prioritas penanganan.
Parameter Keberhasilan Aksi TRC adalah rekomendasi rencana aksi mencakup 4 kriteria yaitu :
  1. Tepat sasaran yaitu masyarakat PMKS atau korban bencana.
  2. Tepat Bantuan yaitu pemberian bantuan sesuai dengan kebutuhan riil PMKS karena banyak kasus pemberian bantuan tidak sesuai dengan kebutuhan mendesak namun lebih karena kepentingan tertentu antara pihak pemberi dan penerima bantuan.
  3. Cepat Tindakan, munculnya masalah sosial sering kali terjadi karena keterlambatan penanganan korban. Permasalahan birokrasi, mentalitas dan orientasi pemberi bantuan dan institusi kadang kala menjadi penghambat penanganan bencana.
  4. Cepat pemulihan, tanggung jawab Kementerian Sosial tidak sebatas pada saat terjadinya bencana, namun pasca bencana peran rehabilitasi sosial menjadi penting mengingat perubahan situasi sebelum dan setelah bencana memungkinkan seseorang atau masyarakat mengalami masa traumatik dan tidak bisa diselesaikan secara mandiri. Peran Kementerian Sosial adalah menjamin masyarakat dan memfasilitasi pemulihan keberfungsian sosial masyarakat (sosial recovery).
Indikator Keberhasilan Kinerja mencakup tiga hal yaitu Zero Vulnerability, Zero Risk dan Zero Accident. Pertama, Kerentanan Nol yaitu masyarakat tidak memiliki kerentanan untuk mengalami masalah sosial di masyarakat terutama bagi perempuan, anak dan manula. Kedua, Resiko Nol yaitu Masyarakat tidak memiliki resiko untuk mengalami resiko menjadi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Ketiga, Zero Accident yaitu kondisi masyarakat tidak menjadi korban dari bencana tersebut baik itu korban bencana alam atau imbas dari bencana sosial.
Oleh karena itu tugas utama dari TRC Kementerian Sosial adalah melakukan Pengkajian dan identifikasi cepat dan tepat (Rapid Assesment) terhadap potensi kerentanan, kerawanan dan resiko sehingga mampu menemukan rekomendasi solutif penganganan masalah sosial. Tujuan dari pengkajian cepat adalah TRC Kementerian Sosial mampu memberikan rekomendasi tentang langkah-langkah proiritas dan sumber-sumber yang dibutuhkan sebagai tindakan segera. Kajian diupayakan mampu mengidentifikasi pengkajian lanjutan yang perlu dilakukan. Serta mampu membangun kohesifitas antar pekerja sosial kesejahteraan sosial untuk penanganan penderita masalah kesejahteraan Sosial secara cepat.
Untuk dapat memenuhi kriteria tersebut, Kompetensi yang harus dimiliki dan dikuasai TRC adalah kemampuan mengelola akses-akses yang ada, kemampuan mengolah data, kemampuan memberikan advokasi kepada masyarakat penyandang masalah sosial, kemampuan melakukan rujukan serta kemampuan mengelola sumber-sumber pelayanan yang ada. Harapan kedepan, TRC Kementerian Sosial RI menjadi program yang efektif dan memberikan kontribusi positif bagi percepatan penyelesaian permasalahan Kesejahteraan Sosial di Indonesia.

*Penulis adalah Staf Pusdiklat Kesos dan Anggota TRC Nusantara Kementerian Sosial RI

Kemiskinan Kab Yahukimo dan Peluang Peningkatan Harapan Kesejahteraan Sosial

Indonesia adalah bangsa yang heterogen, baik dari segi sumber daya manusia dan sumber daya alamnya. Terlepas dari fenomena politik, ekonomi dan sosial yang terbangun saat ini, Pulau-pulau terpencil dan daerah pedalaman juga menjadi bagian penting yang tidak terlepaskan dari keuntuhan kedaulatan NKRI serta menjadi harapan tumpuan kekuatan kedaulatan bangsa. Namun dalam kenyataannya, kekuatan politik dan letak geografis sangat berpengaruh terhadap kemajuan daerah-daerah dalam kerangka Otonomi Daerah NKRI.
Stereotype negatif sistem pemerintah Indonesia adalah kesenjangan pemerataan hasil pembangunan dan minimnya kebijakan massif pro rakyat terutama bagi daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintah. Fenomena ini harusnya segera direspon pemerintah sebagai bagian integral penguatan wacana persatuan indonesia yang berbhinekaan tunggal ika. Konsep kesatuan bangsa harus diwujudkan dalam pola pengambilan kebijakan daerah dan pusat, pemerataan penguatan kapasitas daerah tertinggal dan pembangunan yang berkelanjutan.
Yahukimo menjadi topik bahasan menarik ketika Kabupaten ini terkesan masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat  serta masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai daerah ini. Berita di media massa lebih sering menunjukkan Yahukimo identik dengan kemiskinan, bencana kelaparan, kesulitan akses wilayah pedalaman dan kecelakaan pesawat terbang. Yahukimo lebih terkenal di negeri lain dari pada di negeri sendiri. Dengan mempertahankan keasliannya Yahukimo dapat  menjadi ikon pariwisata papua di masa depan
Berada di wilayah pedalaman pegunungan Jayawijaya membuat Yahukimo kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat serta kesempatan melakukan riset akademis ke daerah ini sangat minim diangkat karena membutuhkan biaya operasional yang sangat besar. Tantangan utama riset ini adalah dengan lokasi medan yang sulit ditempuh, waktu tidak menentu yang sangat tergantung cuaca dan banyaknya permasalahan sosial sehingga butuh pemikiran ekstra untuk merumuskan strategis solutif pemecahan masalah sosial di Yahukimo. Kenekatan riset ini adalah mendapati hal-hal yang tidak pernah terduga tanpa dibekali informasi dan statistik wilayah papua yang lengkap dan akurat.
Perjalanan panjang ke Kabupaten Yahukimo memberikan banyak pandangan terbuka terhadap kondisi riil daerah-daerah terpencil dan pedalaman yang masih mengalami kesenjangan sosial serta membutuhkan perhatian yang lebih dari pemerintah. Otonomi Daerah tidak secara otomatis memberikan kemerdekaan bagi warga negara, namun pelaksanaan Otonomi Daerah yang tepat, terarah, terencana dibekali itikad baik elite politik politik daerah akan menghasilkan  kemajuan daerah khususnya peningkatan kesejahteraan masyarakat hingga daerah-daerah terpencil.
Latar belakang perjalanan ini ketika penulis menjadi peneliti UGM yang saat itu bekerja sama dengan Work Bank untuk memotret kondisi riil ekonomi, pendidikan dan kualitas hidup masyarakat pedalaman Yahukimo serta melihat sampai sejauh mana pemerintah daerah dan pemerintah pusat bertanggungjawab kepada kesejahteraan masyarakatnya. Tim terdiri 4 orang dengan basic keilmuan yang berbeda, penulis lebih mendalami kajian kebijakan daerah. Persiapan riset berupa pengumpulan informasi dari berbagai media, literature dan informasi internet. Data awal yang diperoleh minim dan tidak mendapat gambaran daerah yang akan ditempuh.
Perjalanan dari Jogjakarta ke Wamena melalui Jakarta, transit di Bandara Makasar dan Jayapura. Perjalanan dari Jayapura ke Wamena ditempuh selama 1 jam. Kota Wamena adalah ibukota Kab. Jayawijaya merupakan kota besar yang berada di pedalaman papua. Dialiri Sungai Baliem dan diapit oleh Pegunungan Jayawijaya. Perjalanan wamena - pedalaman Yahukimo hanya dapat dilalui melalui jalan darat. Luasnya wilayah dan Topografi geografis wilayah berupa pegunungan membuat akses pembangunan menjadi sangat sulit sehingga fasilitas-fasilitas publik menjadi sulit ditemukan.
Daya beli masyarakat wamena cukup tinggi, harga kebutuhan pokok terhitung lebih tinggi dari pada di Jayapura. Karena seluruh barang kebutuhan masyarakat wamena didatangkan dari luar wamena melalui jalur udara. Kehidupan masyarakat muda cenderung modern dan mengikuti arus jaman. Berkaitan dengan peraturan pemerintah, beberapa lingkungan saja yang masih mengenakan atribut-atribut budaya seperti koteka serta mendiami rumah adat honai. Suku Dani mendominasi di beberapa wilyah di Kota Wamena. Moda transportasi lengkap dari becak, kendaraan bermotor, mobil dan pesawat udara. Penduduk Wamena sangat heterogen dan plural berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Kehidupan ekonomi berkembang cukup maju, Wamena sebagai sentra perkembangan wilayah, terdapat pasar, rumah sakit, sekolah, hingga berbagai sarana olahraga yang memadai. Namun sisi negatifnya adalah rendahnya tingkat keamanan wamena bagi turis khususnya bagi bagi turis mancanegara. Situasi politik juga mempengaruhi munculnya isu Wamena sebagai wilayah OPM karena posisinya dekat dengan pegunungan Jayawijaya.
Kabupaten Yahukimo adalah kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya. Pemekaran Kabupaten di tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 dengan pembentukan tiga kabupaten baru yaitu Kab. Tolikara dengan ibukota Karubaga, Kab. Pegunungan Bintang dengan ibukota Oksibil dan Kabupaten Yahukimo dengan ibukota Dekai. Kabupaten Jayawijaya tetap sebagai kabupaten induk dengan ibu kota di Wamena.
Luas daerah dengan kemiringan 0-1 persen adalah 1.621.900 meter persegi; tingkat kemiringan 15-40 persen adalah 96.875 meter persegi, sedangkan tingkat kemiringan di atas 40 persen adalah yang terbesar yaitu 3.572.825 meter persegi dari total luas Kabupaten Yahukimo.
Yahukimo berasal dari nama empat suku yang bermukim di kawasan peg. Jayawijaya, yaitu Suku Yali, Hubla, Kimyal dan Momuna. Tahun 2002, Yahukimo memiliki ibukota Sumohai, terdiri atas 3 distrik yakni Kurima, Ninia dan Anggruk. Saat ini, Kabupaten Yahukimo memiliki 51 kecamatan dan  518 kampung (desa).
Keunggulan Yahukimo di mata internasional adalah wisata treeking di distrik Kurima dan Anggruk. Masih melekatnya orisinalitas budaya daerah dan karakter masyarakat lokal yang masih natural. Dari total 518 desa (kampung) yang ada di Yahukimo, tidak lebih dari 15  kampung yang berada di daratan. Sisanya, kampung atau desa itu berada di lereng atau punggung bukit.
Yahukimo memiliki wilayah yang sangat luas dengan topografi daerah berupa pegunungan, hal ini menyebabkan pembangunan daerah masih terkosentrasi kepada daerah dataran seperti di bukota Kabupaten di Dekai . Pembangunan fisik di Yahukimo sangat berat mengingat topografi pegunungan serta menharuskan terjadi pembukaan hutan secara besar-besaran dan alih fungsi sebagai pusat pemerintah dan hunian masyarakat serta mahalnya akses pengadaan infrastruktur ke Yahukimo.
Target riset mengunjungi tiga distrik besar di Yahukimo yaitu distrik Kurima, Distrik Mugi dan Distrik Dekai. Dengan pertimbangan, daerah tersebut merupakan central  pembangunan Yahukimo sehingga dapat menjadi tolok ukur yang representatif terhadap standartisasi penilaian program pemerintah di kabupaten Yahukimo. Estimasi perjalanan akan menggunakan moda transportasi treeking dan perjalanan udara untuk menuju ke ibukota Yahukimo. Perjalanan total waktu menempuh waktu 10 hari. Perjalanan pertama ke Distrik Kurima dan Distrik Mugi karena lokasi tersebut paling dekat dengan Wamena. Kurima merupakan daerah maju karena menjadi pintu gerbang wilayah pedalaman peg jayawijaya.
Transit pertama di kota wamena tim mempersiapkan diri. Berbekal beras 40kg, minyak goreng, bensin, sedikit bahan pangan kami berangkat dibantu 3 porter/guide lokal. Perjalanan jalan kaki dari Sogokmo, perbatasan luar Wamena menuju Distrik Kurima dengan mengusuri arah sungai Baliem menghabiskan waktu 1 jam perjalanan carter mobil dengan tarif 300rb sekali jalan dan disambung dengan jalan kaki menanjak sejauh 2 jam perjalanan. Arah perjalanan berbelok ke Kecamatan Mugi karena Sungai Yetni yang menjadi penghubung antara wamena dengan kurima banjir bandang dan memutus akses satu-satunya menuju pegunungan jayawijaya.
Perjalanan memakan waktu 4 jam hingga kami menuju  jembatan kuning yang membelah lembah baliem menuju desa seima distrik mugi. Hari pertama kunjungan ke desa Seima Distrik Mugi, kami menginap di rumah kepala SDN Seima. Observasi pertama adalah kondisi sekolah, infrastruktur desa, pejabat pemerintah desa dan budaya lokal. Perjalanan hari kedua-ketiga menuju Desa Ugem Distrik Mugi, kondisi tidak jauh berbeda dengan desa seima. Perjalanan jalan kaki dimulai pukul 06.00 WIT dan istirahat pukul 18.00 WIT. Perjalanan semakin berat sehingga perlu penambahan porter dan perbekalan karena perbekalan tim banyak digunakan untuk perjamuan dengan tokoh adat. Perjalanan hari ke empat-kelima menuju desa Mugi Distrik Mugi. Hambatan utamanya adalah cuaca yang cukup dingin, dengan ketinggian 1.800 dpl membuat jalan licin karena tim berada ’diatas awan’. Hujan terjadi sepanjang hari walaupun terik matahari dirasakan sangat panas. Perjalanan hari keenam menuju Desa Wuserem Distrik Mugi. Hal yang menarik di desa tersebut tim disambut dengan pesta adat dengan penyembelihan babi dan ayam kampung. Di papua, babi adalah binatang yang dihormati dan sakral. Harga ternak babi mencapai 10- 300juta ekor. Perjalanan antara desa wuserem dengan desa kurima melalui jembatan gantung sejauh 100 meter diatas lembah baliem. Uniknya adalah jembatan ini dibuat dari anyaman rotan dan kayu yang diikatkan pada dua pohon besar yang ditancapkan di pinggir sungai. Perjalanan hari ke tujuh tim menuju desa kurima distrik Kurima. Sebagai ibu kota kecamatan, distrik Kurima tergolong desa maju dan berkembang. Perjalanan hari ke delapan hingga hari kesepuluh dilanjutkan ke ibu kota kabupaten di Dekai menggunakan moda transportasi pesawat carter dari Bandara Wamena. Perjalanan dari Distrik Kurima ke wamena melalui sungai Yetni yang sedang banjir. Tim jalan kaki menyeberang sungai Yetni dan treeking ke wamena melalui desa Sogokmo sejauh 25 km dengan waktu perjalanan +/- 5 jam. Tim menginap di Hotel Nayak di depan Bandara Wamena. Tim kesulitan mendapatkan tiket wamena-dekai karena faktor buruknya cuaca dan hanya beberapa maskapai yang membuka perjalanan di dekai. Karena tingginya jumlah pengguna jalur dekai-wamena maka sering kali penumpang menunggu beberapa hari untuk mendapat kursi pesawat. Dua hari menunggu di Wamena kami mendapat tiket maskapai Susi Air. Perjalanan pesawat wamena dekai hanya 45 menit dengan kapasitas pesawat 22 penumpang. Perjalanan dilanjutkan observasi lapangan di ibukota kabupaten yang masih dalam tahap pembangunan dan alih fungsi dari hutan belantara menuju ke fungsi pemukiman. Kunjungan ke 2 sekolah dan beberapa instansi di Dekai yang tergolong masih baru bertujuan untuk mengetahui perbandingan tingkat kesenjangan antara pembangunan di daerah pedalaman dengan ibukota kabupaten. Rangkaian data, informasi dan dokumentasi yang dikumpulkan selama perjalanan ini diupayakan dapat memperoleh gambaran lengkap tentang Yahukimo.

Sosial
Kehidupan sosial masyarakat pedalaman jayawijaya masih tergolong tradisional sedangkan di dekai sedang dalam tahap pembangunan. Beberapa masyarakat pedalaman kegiatan utama masih berburu dan meramu. Papua dikenal sebagai masyarakat yang terdiri atas suku-suku bangsa dan suku-suku yang beraneka ragam kebudayaannya, namun dibalik keanekaragaman tersebut terdapat kesamaan ciri-ciri kebudayaan mereka yang seharusnya menjadi kekuatan untuk menjadi maju tanpa meninggalkan nilai-nilai originalitasnya. Beberapa kampung sering terdapat perbedaan suku-suku yang ditandai dengan perbedaan batas jalan, model tata rumah ataupun gaya berbusana mereka. Perbedaan-perbedaan kebudayaan lainnya dapat dilihat dari bahasa, sistem-sistem komunikasi, kehidupan ekonomi, keagamaan, ungkapan-ungkapan kesenian, struktur pollitik dan struktur sosial, serta sistem kekerabatan yang dipunyai oleh masing-masing  masyarakat tersebut sebagaimana terwujud dalam kehidupan mereka sehari-hari mereka.
Mata pencaharian mereka sebagian besar penduduk pedalaman adalah bercocok tanam di sekitar lereng pegunungan. Mata pencaharian di dekai yang sebagian besar adalah pendatang dari luar papua adalah sebagai pedagang dan wiraswasta lainnya. Generasi muda sering kali bekerja di luar Yahukimo karena lapangan pekerjaan di Yahukimo masih sangat minim. Di pedalaman, hanyalah kaum wanita dan anak-anak yang masih meneruskan kegiatan perkebunannya untuk menyambung hidup mereka.
Peran misionaris sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat pedalaman. Kehadiran misionaris pada saat ditemukan Lembah Baliem pada tahun 1954 berusaha mengubah pola pikir dan kebiasaan masyarakat terutama berkaitan dengan nilai kemanusiaan, pendidikan dan kesehatan. Tahun 1954 hingga era tahun 1980 masih terdapat perang suku, kanibalisme dan ilmu majic. Kehidupan antar suku-suku sering tidak harmonis. Antar beberapa wilayah sering terjadi chaos karena perbedaan kebudayaan, suku dan kebiasaan masyarakat-masyarakatnya. Namun hingga saat ini hukum adat masih dipegang teguh sebagai aturan hukum antar suku-suku di pedalaman. Antar wilayah yang berbeda biasanya ditandai dengan pagar batu sebagai pembatas antar suku. Setiap wilayah memiliki pagar batu kecuali sebagai batas teritorial tanah leluhur juga sebagai penghalau babi tidak keluar dari wilayahnya. Gereja memegang  peran penting dalam keseharian masyarakat pedalaman Yahukimo Gerejalah yang mengajak mereka turun gunung untuk mengadakan sosialisasi dengan masyarakat yang lebih maju, memberi pengetahuan membuka lahan pertanian, dan membentuk kampung-kampung kecil dengan struktur pemerintahan sehingga mereka memiliki akses ke pemerintah.
Adat papua tidak mengharuskan anak menuntut ilmu yang tinggi. Anak dan wanita cenderung berperan sebagai pekerja dan mutlak melakukan urusan domestik rumah tangga. Salah satu tugas utama istri adalah menjaga babi sebagai asset keluarga tersebut. Ada pembagian kerja antara anggota keluarga berdasarkan jenis kelaminnya.  Anak memiliki tugas untuk bekerja dan berkebun. Peran ayah lebih menjaga nilai-nilai adat tetap terjaga dalam keluarga tersebut.
Kebudayaan suku-suku yahukimo tidak memiliki integrasi yang kuat dari kebudayaan suku-sukunya. Kebudayaan orang Papua memiliki tingkat teknologi rendah dan sering dihadapkan pada lingkungan hidup yang keras sehingga dengan mudah menerima dan mengambil alih suatu unsur kebudayaan lain yang lebih maju  atau lebih cocok.
Akses penduduk Papua terhadap media juga sangat rendah, siaran televisi sulit ditangkap dan hanya bisa ditangkap dengan menggunakan antena parabola yang membutuhkan biaya mahal dan hanya beberapa warga saja yang mampu mengakses hal tersebut. Pengetahuan masyarakat terhadap dunia luar sangat terbatas. Melalui misionaris dan gereja pengetahuan tentang dunia luar diperkenalkan dan mempengaruhi pola berfikir dan tingkah laku mereka. Kebudayaan adat suku-suku papua tidaklah seketat adat suku baduy di Jawa Barat sehingga suku papua lebih mudah untuk dikembangkan serta diperkenalkan dengan budaya yang lebih maju.


Kesehatan
Pemahaman masyarakat Yahukimo terhadap kualitas kesehatan keluarga masih cukup rendah. Disamping minimnya infrastruktur kesehatan, tingkat pengetahuan tentang pola kesehatan dan kesadaran pentingnya kesehatan masih sangat rendah sangat mempengaruhi terhadap akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan yang tersedia. Keaneka ragaman kebudayaan orang Papua yang terdiri dari berbagai suku bangsa, mempengaruhi pemahaman masyarakat terhadap konsep kesehatan. Konsep sehat dan sakit dipersepsikan berbeda-beda menurut pandangan dasar kebudayaan mereka masing-masing. Penyakit terjadi apabila ketidak ada seimbangan antara lingkungan dengan manusia. Lingkungan berkaitan dengan tanah. Tanah adalah “ibu” yang memelihara, mendidik,  merawat, dan memberikan makan dan kehidupan kepada mereka.
Berdasarkan pemahaman budaya, Sakit merupakan gangguan keseimbangan fisik karena masuknya kekuatan alam melebihi kekuatan manusia. Gangguan itu disebabkan oleh roh yang merusak tubuh manusia. Penyakit datang apabila sudah tidak ada lagi keimbangan antara lingkungan hidup dan manusia. Lingkungan sudah tidak dapat mendukung kehidupan manusia, karena jumlah manusia semakin banyak dan lingkungan semakin rusak. Apabila keseimbangan terganggu maka muncul orang-orang  sakit.
Masyarakat papua sangat rentan terjangkit penyakit gizi buruk bagi bayi dan balita, sanitasi, pernafasan, paru-paru basah, penyakit kulit, AIDS, penyakit gigi, malaria, dll. Masyarakat papua yang bertempat tinggal di honai sangat rawan memiliki banyak penyakit terutama pernafasan. Dalam honai terdapat dapur dengan menggunakan kayu bakar. Aktivitas harian kaum ibu, perempuan dan anak-anak tinggal di honai tanpa ventilasi. Banyaknya menghirup asap kayu bakar dalam kurun waktu berjam-jam sangat beresiko terhadap gangguan paru-paru dan sakit pernafasan lainnya. Tanda umumnya adalah sebagian besar anak suku yahukimo yang beringus dan rambut tidak sehat.
Anak-anak sering kali tidak mengenakan pakaian hingga umur 5-7 tahun sehingga kulit sering tidak terawat dan jarang membersihkan diri secara teratur. Di honai perempuan, perempuan dan anak anak hidup dalam tempat yang tidak higienis. Dalam honai perempuan terdapat dapur dan kandang babi. Anak-anak dan ibu rawan terkena banyak penyakit karena hidup bersama kotoran babi yang mengandung banyak bakteri berbahaya. Hal yang cukup mengejutkan, beberapa ibu-ibu memberikan air susu kepada anak-anak babi sedangkan anak-anak mereka tidak mendapatkan perhatian asupan gizi yang cukup serta pelayanan kesehatan dasar seperti imunisasi dan gizi tambahan. Sanitasi dan pola hidup sehat jarang sekali menjadi perhatian orang tua kepada anak. Karena faktor ekonomi maka kualitas hidup sehat menjadi hal tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat adat.
Faktor lain, rendahnya kualitas kesehatan karena kualitas kurangnya infrastruktur pelayanan kesehatan, terbatasnya jumlah fasilitas kesehatan, kurangnya jumlah SDM pemberi layanan karena banyak faktor. Pelayanan Kesehatan di RSUD juga sangat jauh. Dukun masih menjadi alternatif utama pelayanan kesehatan. Faktor alam yang sulit dijangkau, tenaga kesehatan yang berasal dari luar papua yang tidak betah melakukan pelayanan di daerah pedalaman karena biaya hidup yang sangat mahal, tidak adanya akses informasi serta minimnya fasilitas pendukung dari pemerintah. Untuk penanganan penyakit-penyakit yang tergolong kronis melalui desa ataupun gereja sering dirujuk ke rumah sakit umum daerah Kota Wamena walaupun dengan pelayanan yang minim pula. Ibukota Yahukimo meriupakan endemi penyakit malaria, dalam setiap tahun setiap warga terjangkit penyakit malaria 10 hingga 12 kali. Masa penyembuhan malaria antara 2-3 minggu. Di dekai terdapat fasilitas kesehatan puskesmas yang memadai serta tenaga kesehatan yang berkualitas. Beberapa tenaga kesehatan, pendidikan dan pemerintahan banyak berkumpul di dekai karena kemudahan akses dan fasilitas lainnya.


Ekonomi

Negeri Papua memiliki kekayaan alam berupa emas, nikel, tembaga, kayu namun mayoritas rakyat Yahukimo masih hidup dalam taraf ekonomi konvensional dan primitif bahkan beberapa komunitas suku-suku tertentu di Distrik Anggruk masih menggunakan sistem berburu dan peramu (food-gathering complex). Banyak masyarakat yang mengambil bahan makanan di hutan atau menanam ubi dan sayur mayur untuk dimakan sendiri. Penduduk memanfaatkan lereng-lereng bukit yang curam untuk berladang, menanam ubi-ubian untuk memenuhi hidup sehari-hari. Sebagian masyarakan mengandalkan hutan sebagai sumber pangan. Produk pertanian utama yang ditanam adalah ubi-ubian. Dengan kondisi tanah dan iklim yang ada normatifnya yahukimo dapat dikembangkan produk pertanian seperti cengkeh, kopi dan tembakau. Namun karena tingkat pendidikan dan kepemilikan teknologi yang rendah maka masyarakat masih menanam ubi dan tidak berani beralih ke produk pertanian lainnya yang lebih produktif.
Data bencana kelaparan dan kekurangan gizi sering terjadi di Yahukimo. Konsumsi utama masyarakat hanya berupa ubi-ubi juga mengancam bencana gizi buruk sedangkan kelaparan sering terjadi karena kegagalan panen ubi yang menjadi satu-satunya produk pertanian masyarakat di pedalaman. Agustus 1984 terjadi kelaparan di Distrik Kurima dengan jumlah korban 232 orang meninggal. Tahun 1986, di distrik Kurima terjadi kelaparan dengan menewaskan 84 orang. Tahun 1992, 142 orang meninggal akibat kelaparan di distrik yang sama. Tahun 1997 tercatat kelaparan mencapai 663 orang meninggal. Tahun 2005, kelaparan menelan korban meninggal sebanyak 55 orang. Tahun 2009 korban bertambah korban meninggal sebanyak 92 orang. Kelaparan terjadi akibat kegagalan panen ubi, curah  hujan yang cukup lama mengakibatkan sejumlah tanaman tidak bisa tumbuh.

Kebudayaan
Agama katholik/kristen. Menyebarkan pendidikan, meninggalkan hal-hal mistis dan nilai-nilai duku dan budaya yang tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan, pengenalan teknologi dan ilmu pengetahuan. Kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di yahukimo dapat dikatakan beraneka ragam. Terdapat banyak suku yang berdiam di kawasan pegunungan. Beberapa suku memiliki kebudayaan yang cukup tinggi dalah hal hasil budaya dan alat-alat komunikasi yang mereka gunakan.
Perkembangan jaman dan intervensi pemerintah masa orde baru membuat tidak seluruh generasi masih mengenakan budaya asli papua. Menurut adat papua, Seorang laki-laki ketika menginjak usia 5-13 tahun harus sudah mengenakan holim atau dikenal dengan istilah koteka sebagai busana pria. Kaum wanita mengenakan youngal yaitu rok dari kulit kayu kering. Namun Pemerintah Indonesia masa Orde baru memandang koteka sebagai simbol kemiskinan, keterbelakangan dan tidak berbudaya. Masyarakat tidak diperkenankan menggunakan busana koteka di tempat tempat umum. Kampanye anti Koteka dilakukan dengan pembagian bantuan pakaian layak pakai kepada masyarakat pedalaman, namun karena perawatan masyarakat tidak memahami penggunaan dan perawatan pakaian maka pakaian yang dibagi kepada masyarakat tidak bertahan lama. Pakaian itu dikenakan terus siang-malam, dan tidak dicuci sampai hancur di badan.
Budaya bahasa, sistem-sistem komunikasi, serta sistem kekerabatan yang dipunyai oleh masing-masing masyarakat tersebut sebagaimana terwujud dalam kehidupan mereka sehari-hari. Babi mempunyai nilai tukar yang tinggi aset dan sangat berharga dibandingkan hewan lain. Dalam berbagai ritual tradisional yang sering digelar masyarakat babi menjadi tolok ukur prestise golongan tertentu. Babi dipergunakan untuk membayar mas kawin, membayar hutang dan denda sebagai bentuk sanksi atas suatu perkara, serta upacara kematian dan juga merayakan panen kebun yang melimpah. Babi juga menunjukkan derajat seorang dalam masyarakat. Makin banyak babi yang dipunyai, makin terpandang seseorang dalam masyarakat.

Infrastruktur
Titik konsentrasi persebaran penduduk yang ada di Yahukimo berada di sekitar lembang baliem dan lahan perkebunan yang berada di lereng-lereng gunung. Perjalanan  antara satu kampung dan kampung lain di sebagian wilayah Yahukimo pedalaman umumnya dengan berjalan kaki, melewati jalan setapak, bukit dan lereng gunung.  Tidak ada fasilitas penerangan dan telekomunikasi. Jarak antara satu kampung dengan kampung lain bisa berjam-jam bahkan berhari-hari bila berjalan kaki. Penghubung antara Wamena dengan Kurima telah dibangun aspal namun dipisahkan oleh Sungai Jetni. Kurima merupakan titik pertemuan masyarakat wamena, masyarakat pedalaman dan distrik lain di sekitar pegunungan tengah Jayawijaya. Pembangunan terkosentrasi di Dekai karena sebagai pusat pemerintah sekaligus sedang digenjot pembangunannya. Sebaliknya kawasan pegunungan pedalaman masih sangat minim infrastruktur. Kesulitan akses transportasi dan medan yang berupa pegunungan tidak memungkinkan alat berat masuk. Infratruktur sekolah, puskesmas, kantor pemerintahan ada di setiap desa namun kondisinya hampir seragam. Sekolah, puskesmas, kantor desa terbuat dari kayu dengan fasilitas pendukung yang minimalis. Jalan masyarakat hanyalah jalan setapak, yang menembus hutan dan lereng gunung. Untuk menyebrangi sungai biasaya terdapat jembatan tradisional yang terbuat dari rotan dan jalannya dari potongan kayu-kayu hutan. Seluruh kebutuhan masyarakat yahukimo ataupun penjualan hasil bumi yahukimo lebih cenderung akses satu-satunya ke wamena. Bencana alam sering memutus jalur antara pedalaman dan wamena. Tanah Longsor dan Banjir secara otomatis mampu menghentikan seluruh aktivitas di daerah pedalaman. Masyarakat pedalaman masih juga tergantung dari hasil produk-produk kota wamena seperti beras, indomie , minyak goreng, dll. Bencana dapat tertanggani minimal 1 minggu, alhasil pasokan hasil bumi masyarakat pegunungan sering tidak dapat didistribusikan ke kota dan dapat mengganggu pasokan barang di Kota Wamena.
Ada kesenjangan cukup besar antara masyarakat kota yang sebagian besar dihuni warga pendatang dengan masyarakat pedalaman yang dihunii penduduk asli. Kurangnya tenaga kesehatan dan tenaga pendidik di pedalaman lebih dikarenakan karena kesulitan akses transportasi dan menjadi kendala pemerintah daerah dalam mengkoordinasi distrik-distrik di pedalaman. Satu-satunya sarana transportasi untuk menjangkau kota wamena-dekai adalah pesawat, sedangkan di pedalaman menggunakan pesawat kecil dengan harga yang tinggi. Antara satu kampung dengan kampung lain dipisahkan oleh sungai dan gunung. Tidak semua kampung bisa dijangkau secara langsung. Hanya 42 kampung di pedalaman Yahukimo yang memiliki landasan pesawat helikopter. Transportasi udara ini sebagian besar dimiliki gereja, dan belakangan ini mulai diminati pihak swasta seperti Trigana Air, Mimika Air, Merpati, dan Manunggal Air Service. Deraya air, Susi Air. Seluruh produk-produk di Wamena diperoleh melalui jalur udara hal inilah yang mengakibatkan semakin pelosok suatu daerah maka harga kebutuhan pokoknya juga semakin mahal.
Pasar Utama di Pasar Wamena. Di pedalaman tidak terdapat pasar. Harga kebutuhan pokok cukup tinggi Mie instans mencapai 5.000 rupiah, beras 35.000 rupiah, lilin 50.000/pak, Ojek dari kurima hingga Sungat Yetni mencapai 50.000/jalan

Telekomunikasi dan Listrik
Alat komunikasi di daerah pedalaman sangat terbatas. Akses informasi mengenai apa yang terjadi di wilayah pedalaman atau di luar lingkungan mereka sangat terbatas. Keterlambatan penanganan bencana sering terjadi karena pemerintah dan masyarakat sangat sulit menjalin komunikasi efektif. Di Yahukimo baik di ibukota propinsi dan daerah pedalaman tidak terdapat listrik. Untuk mendapatkan listrik masyarakat menggunakan genset dengan daya 1 liter bisa mencapai 2-3 jam. Listrik biasanya dipergunakan untuk penerangan lampu semata. Beberapa masyarakat bergantung pada lilin sebagai sumber penerangan walaupun harga 1 lilin mencapai 5ribu rupiah. Rendahnya alat komunikasi

Pendidikan

Fasilitas dan sarana pendidikan sangat memprihatinkan. Otonomi Khusus Papua memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan khususnya daerah pedalaman. Data dari Badan Pusat Statistik, hanya terdapat 91 Sekolah Dasar (SD) di seluruh Yahukimo. Karena jumlah desa di Yahukimo berjumlah 561 buah, ini berarti tidak semua desa di Yahukimo terdapat Sekolah Dasar. Pendidikan Sekolah Menengah berjumlah lebih sedikit daripada jumlah SD. Kendala kedua adalah Tidak adanya tenaga pengajar di tiap tiap sekolah. Dinas Pendidikan Kab Yahukimo telah jumlah mengalokasikan beberapa tenaga pengajar baik itu PNS maupun honorer namun karena berbagai faktor maka jumlah tenaga pengajar yang tersedia masih belum mencukupi kebutuhan ideal sekolah-sekolah formal. Di dua distrik Kurima dan Mugi penulis mendatangi 5 sekolah dasar dengan kondisi yang hampir serupa. Setiap Sekolah Dasar memiliki 3 kelas dan 1 ruang guru dan kepala sekolah. Fasilitas yang ada di kelas rata-rata meja kursi, papan tulis. Bangunan utama adalah bangunan kayu, sekat biasanya anyaman bambu dengan kondisi memprihatinkan, atap sekolah rata-rata tidak layak dan terdapat bekas kebocoran, tidak ada fasilitas penunjang seperti buku, bahan ajar lainnya. Lantai umumnya tanah yang tidak rata, beberapa sekolah terdapat bekas-bekas hewan reptil yang menurut penulis sangat mengancam keselamatan siswa. Umumnya sekolah berada di pusat pemerintah desa sedangkan siswa terdekat-terjauh mencapai perjalanan antara 10 menit hingga 2 jam perjalanan. Jumlah guru paling banyak ada 6 guru termasuk kepala sekolah dan paling sedikit 3 guru. Aktivitas sekolah biasanya pukul 9 pagi hingga 12 siang, tidak ada jadwal pelajaran ataupun kurikulum yang mengikat. Dalam observasi murid-murid lebih sering diajarkan menyanyi dan menghitung. Bahkan seringkali pelajaran terdapat anak berumur 5 tahun hingga 18 tahun, namun guru tersebut tidak bisa membedakan kelas murid-murid tersebut. Jumlah murid yang tercantum dalam daftar siswa mencapai 200 siswa namun setelah kunjungan hanya 20-30 siswa yang bisa ditemui pada saat kunjungan. Beberapa informasi diperoleh bahwa tingkat kehadiran siswa sekolah sangat rendah karena beberapa hal. Adat suku menyarankan anak untuk bekerja membantu keluarga daripada sekolah, sekolah dianggap membuang waktu dan tidak mungkin bisa merubah ke keadaan yang lebih baik. Sekolah menjadi kewajiban hanya terjadi di pusat ibukota Dekai. Faktor jarak siswa menuju ke sekolah yang jauh membuat siswa enggan bersekolah, ketika cuaca sedang musim penghujan, rata-rata masyarakat pedalaman tidak beraktivitas keluar, mereka lebih memilih berdiam diri di dalam dapur honai. Dari segi guru, faktor alam menjadi alasan utama tenaga pendidik enggan menetap di pedalaman. Rata-rata guru tinggal di wamena karena kemudahan akses informasi dan kebutuhan hidup sehari-hari. Sekolah di pedalaman tidak menyediakan rumah dinas bagi guru karena itu alternatif nya adalah guru tinggal di wamena. Kendala utama akses ke sekolah karena jarak yang jauh dan mahal. Jika kondisi hujan lebat sungai Yetni sebagai sebagai satu-satunya akses menuju daerah pedalaman selalu banjir dan memutus jalur transportasi darat. Perbaikan sementara biasanya menghabiskan waktu 2-3 hari. Gaji guru tidak sebanding dengan pengeluaran transportasi yang mencapai 100ribu rupiah sekali perjalanan pulang pergi. Kondisi alam hujan membuat daerah pedalaman licin dan rawan longsong sehingga pada waktu cuaca buruk seringkali aktivitas sekolah diliburkan.


Rata-rata kebutuhan belajar anak hanyalah sebatas SD. Ketika lulus SD orangtua sering mengarahkan anaknya untuk bekerja. Hanya beberapa desa yang memiliki Sekolah Menengah tingkat Lanjutan. Berdasarkan informasi orang tua siswa, orang tua menyarankan tidak menyekolahkan sekolah karena sekolah hanya buka waktu tertentu saja, dalam sebulan hanya 3-4 kali sekolah aktif. Hal tersebut dibenarkan oleh sebagian guru karena faktor alamlah yang menyulitkan mereka mengunjungi sekolah pedalaman. Kurangnya perhatian pemda terhadap sekolah pedalaman membuat kualitas sekolah pedalaman semakin terbelakang. Anak kelas 6 SD masih banyak yang belum bisa membaca dan menulis. Disatu sisi banyak indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh kepala sekolah terkait dengan penggunaan dana BOS.
Tidak adanya monitoring dan evaluasi membuat jumlah siswa dalam laporan pengajuan BOS dengan jumlah murid sebenarnya menjadi peluang terjadinya penyimpangan anggaran. Karena data yang tim terima dari Dinas Pendidikan berbeda dengan aktualnya. Maka data-data dari Dinas kami anggap kurang valid. Kualitas pendidikan berbeda dengan kondisi pendidikan di Dekai. Terdapat beberapa Sekolah Dasar, 3 SLTP dan 1 SMA. Kualitas pendidikan di dekai lebih baik baik dari segi fasilitas sarana prasarana pendukung, guru dan kurikulum yang digunakan. Permasalahan utama pendidikan di Yahukimo adalah peningkatan kualitas pendidikan merupakan jalan panjang karena itu pemerintah haruslah menemukan strategi khusus yang tepat untuk dapat membawa yahukimo mencapai SDM yang sejajar dengan SDM luar daerah papua. Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh melawan kemiskinan. Kemiskinan di yahukimo berbanding terbalik dengan kekayaan alam yang dimilikinya. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melindungi SDA yang luas maka pendidikan mutlak dikuasai khususnya bagi generasi penerus yahukimo


Rekomendasi
Permasalahan utama peningkatan kualitas hidup masyarakat Yahukimo adalah tingginya kemiskinan, putus sekolah dan meningkatnya jumlah anak kurang gizi serta kurangnya infrastruktur pendukung kesejateraan sosial dan kesejahteraan materi. Pemerintah harus mengetahui secara tepat prioritas pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kharakteristik wilayahnya. Oleh karena itu beberapa alternatif prioritas pengambilan kebijakan dan isu aktual yang harus dibangun adalah
Penguatan peran Kementerian Sosial dalam mengupayakan kesejahteraan sosial masyarakat melalui terpenuhinya kebutuhan material, spritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial salah satunya ditujukan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas dan kelangsungan hidup masyarakat pedalaman Yahukimo. Hal utama yang menjadi prioritas Kementerian Sosial adalah pengentasan dan penanggulangan kemiskinan. Kemiskinan di Yahukimo disadari atau tidak merupakan fenomena sosial yang kalau tidak disikapi secara bijak dan tepat akan menyebabkan permasalahan sosial lainnya.
Kementerian Sosial tidaklah mampu berjalan sendiri mengatasi Kompleksitas permasalahan sosial di sana. Kerjasama lintas institusi dan jenjang hierarkie mutlak dilupayakan sehingga mengarah kepada sinergitas kerja pemerintah. Pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu kekuatan pengembangan kemandirian kesejahteraan berbasis masyarakat. Pengentasan kemiskinan tidak sekedar memberikan bantuan secara berlebihan dan mungkin dapat menyebabkan ketergantungan masyarakat. Masyarakat yahukimo idealnya mampu mengembangkan diri sesuai
  1. Pengembangan kerjasama Kementerian Sosial dengan Pemerintah Kabupaten Yahukimo. Diawali dengan Rapid Assesment tentang kekuatan, kelemahan, potentsi dan peluang yang dimiliki Yahukimo. Kementerian Sosial idealnya mampu menjadi yang pertama untuk memberikan perhatian sepenuhnya kepada daerah terpencil dan memiliki kerawanan mengalami bencana sosial di daerah pedalaman. Program Kementerian Sosial 50 Kabupaten Tertinggal dikembangkan dapat mempercepat pengentasan kemiskinan di daerah remote area terutama kawasan Papua.
  2. Pengentasan Kemiskinan tidak terlepas dari penguatan penguatan insfrastruktur dan fungsi kementerian lainnya seperti Kemendiknas, Kemenkes, Pekerjaan Umum sebagai sektor pendukung terwujudnya Kesejahteraan Sosial. Kementerian sosial lebih menangani ’orang’ sedangkan kementerian lain mengedepankan sektor fisik sesuai dengan peran masing-masing kementerian. Kerjasama lintas institusi Kementerian/Lembaga mutlak dibangun sehingga kinerja kementerian menjadi lebih terpadu, efektif dan berkelanjutan
  3. Pengentasan kemiskinan harus melalui pembangunan keluarga dan pemberdayaan masyarakat pedalaman. Mengembangkan program pemberdayaan masyarakat melalui Program KUBE dan Program Keluarga Harapan idealnya mampu menciptakan kemandirian masyarakat. Pengenalan terhadap Potensi alam dan kekayaannya sekaligus menerapkan kesempatan bekerja dan mengembangkan potensi ekonomi masyarakatnya secara mandiri. Hal ini memberikan pandangan kepada masyarakat bahwa manusia tidak lagi tergantung pada hasil alam semata, namun masih banyak alternatif 
  4. Anak anak adalah generasi penerus bangsa. Sangat wajar  menjadi prioritas penanganan pelayanan sosial karena anak rentan dan beresiko terhadap dampak dari permasalahan sosial. Anak-anak sebagai aset masa depan haruslah mampu ditempa menjadi penerus generasi berkualitas di Yahukimo. Masyarakat dengan budaya yang kuat tidak mudah diubah dengan pola pikir yang modern, oleh karena itu, menyelamatkan masa depan anak perlu digerakkan melalui pendampingan-pendampingan sosial kepada anak-anak Yahukimo agar tidak selalu terikat dengan budaya-budaya adat yang terkadang mengekang pada aspek-aspek kemiskinan tersebut. Tindak lanjut dari Direktorat Anak Kementerian Sosial lebih menekankan pengembalian fungsi sosial anak sehingga memenuhi tingkat dan tahapan perkembangan anak secara wajar
  5. Kelaparan yang terjadi lebih sering disebabkan faktor cuaca yang menyebabkan gagal panen. Pendidikan dasar masyarakat pedalaman tidak mengetahui potensi alam yang cukup besar yang dikandung di bumi papua. Peran Pendamping Sosial baik itu Karang Taruna ataupun tenaga teknis Dinas Sosial Kabupaten Yahukimo untuk memberikan pendampingan khususnya terkait dengan pengembangan potensi keluarga dan pendidikan noe formal tentang beberapa hal berkait dengan pengenalan potensi alam
  6. Sisi penting lainnya adalah pengembangan program kesehatan baik fisik atau sosial antara Kementerian Sosial dan Kementerian terkait yang ditujukan untuk mengurangi resiko kesehatan dan gizi masyarakat dari dampak kurangnya kesadaran dan lemahnya pemahaman pentingnya menjaga kesehatan. Pembanguan kawasan berwawasan kesehatan diseluruh kecamatan wilayah. Penguatan Profesionalisme tenaga kesehatan yang didukung dengan penerapan ilmu dan teknologi bidang kesehatan masyarakat dan kedokteran serta perlunya Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat melalui sosialisasi efektif dan rutin kepada masyarakat tentang pentingnya kesehatan terutama masyarakat pedalaman yang masih
  7. Pendidikan menjadi dasar penentu kualitas SDM masyarakat pedalaman Papua. Pendidikan formal sangat sulit terwujud karena kesulitan akses infrasrtuktur ke pedalaman. Kementerian Sosial dapat berkontribusi memberikan pendidikan alternatif melalui pendampingan-pendampingan sosial serta pelibatan seluruh komponen-komponen organisasi sosial kemasyarakatan yang ada di daerah untuk berperan serta meningkatkan pendidikan dasar formal maupun non formal masyarakat pedalaman.
  8. Eksploitasi SDA harus memperhatikan lingkungan dan keberlanjutan untuk generasi penerus rakyat asli Papua. Disisi lain terbengkalainya potensi‐potensi alam daerah seperti lahan pertanian, perikanan dan hasil hutan karena rendahnya pemahaman, pendidikan dan keterampilan untuk mengolah dan mengelolanya menjadi lahan lebih produktif lagi menjadi peluang pencegahan bencana kelaparan di Papua. Masyarakat pedalaman papua dapat meningkatkan taraf dan kualitas hidup serta menghindarkan dari bencana kelaparan terutama dari kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan kekayaan alam pedalaman yang sangat besar.
Beberapa point diatas merupakan sedikit gambaran tentang realitas kehidupan masyarakat pedalaman. Penulis berusaha mengedepankan pentingnya aspek sosial kemasyakatan sebagai bagian terpenting penyelesaikan permasalahan sosial di daerah pedalaman ditengah-tengah keterbatasan-keterbatasan yang di miliki daerah pedalaman. Memberlakukan daerah pedalaman seperti halnya daerah lain merupakan tanggung jawab pemerintah sekaligus antisipasi potensi disintegrasi bangsa dan potensi permasalahan sosial lainnya.

Daftar Pustaka

BPS Papua, 2007, Papua Dalam Angka
Dumatubun, A.E, 1999, Rapid Ethnographic Assesment: Pengembangan KIE Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibi di Kecamatan Prafi dan  Kecamatan Bintuni, Kabupaten Manokwari. Jayapura. UNICEF-PMD)
Suparlan, Parsudi, 1994. Keanekaragaman Kebudayaan, Strategi Pembangunan dan Transformasi Sosial, dalam Buletin Penduduk dan Pembangunan, Jilid V No. 1-2,  Lembaga Iimu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Suparlan, Parsudi, 1994. The Diversity Of Cultures In Irian  Jaya,  The  Indonesian Quartely, 22:2
Wambrau, D, 1994. Konsep Sehat, Persepsi Sakit dan Cara Pengobatan pada Suku Moi di Kecamatan Sentani, Jayapura. PSK-UNCEN

Referensi Jurnal, Majalah dan Web site
“Ada Apa Dengan Langda”, Tempo, 15 November 2009
Antropologi Papua,  Volume 1. No. 1, Agustus 2002


*Antonius Supriyanto, S.IP
Staf Kepegawaian dan Keuangan Pusdiklat Kesos
Pernah menjadi Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada  Yogyakarta – World Bank